Blogger Widgets

Senin, 20 Januari 2014

Hujan Badai di Jakarta

topan-badai

Hujan masih mengguyur Jakarta sejak malam kemarin. Pagi hari dingin dan hujan adalah waktu yang tepat untuk melanjutkan tidur barang beberapa menit ke depan. Bau tanah basah, segar melenakan. Tapi Jono beserta puluhan ribu orang lain yang hidup di Jakarta menolak untuk menikmati kenyamanan tidur seperti itu. Terlebih bagi Jono, yang memegang prinsip Karyawan yang baik, tetap datang walau badai datang menerjang.

Dan kebetulan, Badai pula lah yang menerjang Jakarta pagi itu. Hujan datang disertai angin kencang. Atap seng kontrakan Jono berderak-derak, bising, seolah akan terbang ditiup badai pagi itu.
Hujan masih turun deras ketika Jono selesai mandi, siap berangkat ke kantor.
“Jakarta menyenangkan kalau tidak panas.” Jono membatin, mencoba menawar suasana pagi yang kelam itu.
Berbekal payung, juga jaket parasut, Jono melangkah mantab ke Jalan raya. Mencegat Bus kota, yang langsung menuju kantornya.
Badai Jakarta pagi ini ganas. Ia menumbangkan pepohonan peneduh jalan. Bus berjalan tersendat, terhalang oleh kemacetan yang luar biasa panjang. Jono tidak berhenti menatap arloji. Sebentar lagi, ia harus sudah ada di kantor. Ia mulai Gelisah.
Lalu tiba-tiba, semua penumpang Bus terperanjat, dikejutkan oleh suara “Bruk!” keras. Sopir bus refleks menekan klakson beberapa kali. Sebuah pohon besar tumbang, hanya beberapa meter di depan Bus.
“Ah, sial! Makin macet kalau gini caranya!” Pikir Jono. Kemudian ia meloncat turun dari Bus, tanpa tahu jika jalanan di bawahnya sudah digenangi air setinggi lutut. Tapi Jono tidak peduli, ia terus saja melangkah, mengacuhkan celananya yang basah. Ia terus melangkah, melewati mobil-mobil yang terjebak macet. Ia menyaksikan polisi-polisi lalu lintas berdiri pasrah menyaksikan jalanan yang macet parah.
“Aku tahu rasanya, pak. Bagaimana jika kita tidak sanggup menyelesaikan pekerjaan dengan baik” Ucap Jono pada para polisi itu. Tentu saja hanya dalam hati. Tapi Polisi itu rupanya mendengar bisikan hati Jono. Ia menatap lurus pada Jono, kemudian berteriak dengan lantang.
“Hai kamu! Jangan jalan di situ!”
Jono celingukan, kemudian menunjuk dadanya sendiri. Matanya membulat, menyatakan kalimat tanya seperti, “Bapak manggil saya?”
“Iya kamu! Saudara jangan jalan di situ. Itu jalan buat Mobil. Mau kamu saya tilang?!”
Jono terdiam di tempatnya berdiri, badannya mulai menggigil, bukan karena takut, melainkan karena celananya yang basah sudah mulai membuatnya kedinginan. Alis Jono beradu, dahinya berkerut. Ia bingung, Sejak kapan kaum pejalan kaki bisa kena tilang polisi. Apakah anda aturan baru, dan hari ini adalah hari pertama aturan itu berlaku.
Jono masih saja bergeming. Polisi itu berjalan mendekatinya. Polisi itu sudah berada selangkah didepannya. Jono menatap dalam-dalam wajah Polisi itu. Seketika itu juga, Jono yakin bahwa semua kejadian pagi ini hanya mimpi. Wajah polisi yang ada didepannya itu serupa dengan pak Dorman, atasannya di kantor.
***
Jono mendapati dirinya masih berada di tempat tidur. Hujan masih saja turun. Ia melirik arloji yang tergeletak di meja, sudah pukul sebelas siang. Sudah terlalu siang untuk berangkat kerja. Maka ia meraih ponsel, mengetik sebuah pesan singkat.
“Maaf, saya ijin tidak masuk hari ini. Badan saya meriang. Trims.” Singkat saja, kemudian ia mengirimkan pesan tersebut kepada atasannya. Selepas itu, ia mematikan ponsel, menarik selimut, kemudian melanjutkan tidurnya. Jakarta hujan dan dingin, kali ini ia nikmati saja kenyamanan itu.
Tidak berapa lama, ia bermimpi. Dalam mimpinya, ia melihat pasar terapung dengan banyak sekali perahu-perahu. Di tengah pasar itu, di antara perahu-perahu, Jono melihat pucuk Tugu Monas.