Blogger Widgets

Senin, 16 Desember 2013

Perjuangan Seorang Sahabat


Ketika itu kami sedang sibuk mencari tempat melanjutkan ke perguran tinggi. Teman-teman seangkatan sibuk dengan pendaftaran kesana kemari mendapatkan perguruan tinggi yang mereka idamkan. Perjuangan dan pengorbanan demi masa depan. Semua berjuang demi cita dan asanya. Seorang sahabat sejak duduk di bangku SMP,
memiliki cerita yang mirip sinetron.
Kami tidak lagi berada di sekolah yang sama di bangku SMA. Aku memilih SMA Negeri di luar kota sedangkan dia memutuskan untuk melanjutkan di SMA Negeri di kota tempat kami tinggal, Ambarawa.  Menjalani masa-masa SMA, kami masih serng berkomunikasi lewat surat yang dititipkan pada adik kelas Sofa yang rumahnya dekat rumahku. Kami bercerita banyak tentang kehidupan SMA kami yang menyenangkan. Komunikasi kami lancar dengan sesekali mengirim surat dan bertemu di Depot Es Seruni langganan kami. Selalu ada cerita seru yang kami bagikan. Namun, mendekati penghujung SMA, kami justru semakin jarang komunikasi. Kesibukan membuat kami lost contact, padahal udah musim Hape dan kami sudah punya Hape.
Hingga suatu hari, pulang sekolah, dari dalam bus, kulihat sahabatku turun dari angkutan lalu bergegas lari. Wajahnya kelihatan kebingungan dan langkahnya tergesa-gesa. Karena hanya sepintas melihat dari kaca jendela bus antarkota, kurogoh Hape dari tas sekolahku.
‘Kayaknya aku tadi lihat kamu turun dari angkutan trus lari-lari di deket Pasar Ambarawa’
Nggak dibales. Ah, mungkin bukan dia. Batinku.
Sampai di rumah, Hapeku bergetar, sms balasan dari sahabatku tadi.
‘Iya, tadi itu aku’
Dia menceritakan kalau dia tergesa-gesa pulang, takut ketahuan seseorang. Sms kami saat itu tidak sepenuhnya karena dia tergesa-gesa pulang ke rumahnya yang masih sekitar 5 km dari Ambarawa. Namun, kami sempat melanjutkan pembahasan tentang permasalahan yang terjadi pada sahabatku itu dua hari setelah itu.
Sebut saja namanya Sani, sahabat perempuanku ini tinggal di Bandungan. Dia punya tiga orang adik. Ayah dan ibunya bekerja sebagai penjahit di rumah mereka. Dulu, saat masih duduk di bangku SMP aku sering sekali main ke rumahnya. Kami main di sawah neneknya dan memetik seplastik besar sayur untuk kubawa pulang. Kalau musim kelengkeng, aku sering diberi kelengkeng hasil kebun mereka untuk kubawa pulang. Aku gantian memberinya rambutan hasil pohon halaman rumahku. Aku sangat akrab dengan keluarganya begitu pula sebaliknya.
Kembali pada permasalahan yang sedang dihadapi sahabatku Sani, ternyata dia juga mengalami kisah seperti dalam sinetron. Sani yang cukup pandai di sekolah dan sering ikut Lomba, orang tuanya tidak punya cukup biaya untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Sampai akhirnya kepala sekolahnya menwarinya untuk membiayai kuliahnya. Kepala sekolah tersebut membicarakan hal itu pada orang tua Sani dan mereka pun sangat berterimakasih kalau beliau mau membantu biaya kuliah Sani. Ibu kepala sekolah itu berjanji akan mencarikan orang tua asuh untuk Sani kalau nanti kuliah jadi tidak perlu membayar uang kos. namun, sebelum Sani mendapat orang tua asuh, Ibu Kepala Sekolah itu mengharap Sani dapat tinggal di rumahnya yang jaraknya lebih dekat dari kampus dibanding dari rumahnya di Bandungan.
Setelah mengikuti tes masuk melalui Ujian Masuk Universitas Diponegoro Semarang, Sani berhasil lulus dan diterima di Fakultas Kesehatan Masyarakat UNDIP. Ia harus mengurus biaya pendaftaran ulang dan sebagainya. Sani sudah tinggal di rumah kepala sekolahnya sejak mengurus pendafataran ulangnya sebab beliau yang bersedia menalangi biaya masuknya. Namun, tak seperti yang dibayangkan, Sani diperlakukan seperti pembantu di rumah orang yang selalu menyangjung dan memujinya di sekolah. Ibu kepala sekolah itu berubah menjadi galak saat berada di rumah, Sani selalu disalah-salahkan ketika melakukan pekerjaan dan tak jarang kena marah karena kesalahan kecil.
Bukan hanya Sani yang tinggal di sana, seorang kakak tingkatnya yang sudah hampir lulus ada yang masih tinggal disana. Seperti Sani, kakak tingkatnya itu juga dijanjikan hal yang sama seperti Sani saat sebelum tinggal di rumah itu, tapi kenyataannya sampai di penghujung kelulusan, dia tak juga dicarikan orang tua asuh. Kakak itu pun harus bolak-balik Semarang-Ungaran yang jaraknya sekitar 1 jam dengan angkutan umum. Sudah capek kuliah, masih harus mengerjakan pekerjaan rumah dan dimarah-marahi. Sebenarnya dia tidak betah, tapi karena dia hanya itu satu-satunya cara untuk bisa menyelesaikan kuliah, kakak itu pun bertahan meski kuliahnya banyak terganggu. Mereka tidak diperbolehkan pulang ke rumah mereka kalau tidak ada izin dari ibu kepala sekolah yang sepertinya tidak akan memberi izin. Meski suami ibu kepala sekolah cukup baik hati, tapi beliau tak bisa melakukan apapun. Semua keputusan ada pada istrinya dan beliau pun takut pada istrinya yang sering memarahinya. Ibu kepala sekolah benar-benar mendominasi rumah tangganya. Putra-putri dan pembantunya yang baik membuat Sani dan kakak tingkatnya itu bisa sedikit bernafas saat ibu kepala sekolah sedang bekerja atau tidak di rumah.
Beberapa kali Sani mencoba menceritakan keadaan dirinya pada temannya dan mencoba mencari pertolongan utnuk keluar dari rumah itu. Pernah seorang teman menelfon dengan mengaku sebagai saudaranya. Ia mengabarkan kalau nenek Sofa sedang sakit dan dia meminta Sofa untuk pulang, tapi ibu kepala sekolah malah memarahi teman Sani. Ia tahu kalau itu hanya rekayasa Sani yang ingin pulang. Ibu kepala sekolah pernah mengancamnya kalau sampai dia menceritakan pada orang lain yang tidak baik tentangnya maka ia tak akan membiayai kuliahnya lagi.
Sani merasa tersiksa di rumah itu. ia tak ingin seperti kakak tingkatnya yang skripsinya terhambat karena pekerjaan yang diberikan ibu kepala sekolah yang semakin banyak. Ia mencoba melarikan diri saat ibu kepala sekolah sedang berada di SMA. Menyelinap keluar, ia berhasil kabur di hari aku melihatnya turun dari angkutan dengan tergesa-gesa. Ia sempat mampir di rumah Intan, sahabatnya di SMA untuk sejenak istirahat baru kemudian meminta dijemput temannya dari Bandungan untuk lebih amannya. Sani sangat takut ketahuan oleh ibu kepala sekolahnya.
Sampai di rumah, dia menceritakan apa yang terjadi padanya di rumah Ibu Kepala Sekolah. Orang tuanya menangis mendengar cerita putri bungsunya. Anak pandai yang menjadi harapan kedua orang tuanya itu harus menerima nasib yang kurang baik. Sani sempat ingin tidak kembali ke rumah itu lagi, tapi Ibu Kepala Sekolah meminta semua uang yang dikeluarkannya untuk Sani digantikan, baru dia melepaskan Sani. Orang tua Sani yang tidak punya uang sebanyak itu semakin sedih. mereka semakin kalut.
Namun, kegigihan dan semangat Sani membuatnya pantang menyerah. Dia tetap ingin mendapat gelar sarjana dan mendapat lebih banyak ilmu di bangku perguruan tinggi. Demi cita dan asa yang didambakannya, Sani berusaha keras untuk mendapatkan beasiswa. Ia mencari infrmasi dari teman-teman dan datang ke kampus untuk mencari jalan keluar dari permasalahannya hingga titik terang terlihat dari beasiswa penuh dari sebuah instansi.  Ia tak lagi harus hidupd alam tekanan Ibu Kepala Sekolahnya.
Sani bisa kuliah dan menyelesaikannya sampai mendapat gelar sarjana.
Sahabat, kau wanita hebat